Indonesia selain di
hadapkan oleh masalah ekonomi domestik yaitu bagaimana mengenjot laju
pertumbuhan, pengurangan angka kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja
juga telah dan akan berhadapan dengan konsekuensi menghadapi perdagangan
global. Tentu masing masing Negara telah menyiapkan infrastruktur dan
stratergi pasar masing masing, terutama dalam meraih keuntungan dari
perdagangan tersebut. Negara yang memilki kesiapan lebih komprehensip,
maka ialah yang akan mengusai pasar dan mampu meningkatkan nilai
tambahnya, namun sebaliknya Negara yang yang belum atau tidak memiliki
kesiapan yang memadai, maka ia tidak akan meraih keuntungan pasar yang
signifikan.
Melihat situasi terakhir sektor perdagangan kita khususnya sektor pertania dan perkebunan,
kita belum bisa meraih keungtungan besar karena faktor nilai daya saing
baik kualitas atau kemasan produk belum memadai untuk standar ekspor
atau konsumsi masyarakat dunia. Untuk itu masih banyak pekerjaan rumah
yang harus segera di benahi Indonesia dalam upaya menghadapi konsekuensi
perdagangan bebas tersebut.
Pembenahan
sektor pertanian dan perkebunan tersebut minimal di lihat dari sisi
peningkatan produksi, kualitas produk, penangan pasca panen (nilai
tambah) dan penetrasi pasar yang masif. Jadi daya saing merupakan hal
yang tidak bisa di hindari dalam upaya memperoleh keuntungan pasar.
Sementara untuk menuju kea rah pasar bebas tersebut kita masih di
hadapkan pada masalah rendahnya produksi, rendahnya kualitas produk dan
lemahnya penguasaan pasar.
Kemudian yang
menjadi pertayaan adalah?apakah kita sudah siap dan cukup kuat untuk
memasuki pasar bebas tersebut?sementara indicator indicator untuk menuju
ke perdagangan bebas masih dibayang bayangi oleh permasalahan domestic
yang usai terutama sektor pertanian dan perkebunan.Belum ada gebarakkan
startegis, sistemik dan memukau yang diperlihatkan oleh pemerintah.
Pasar Bebas dan Konsekuensinya
Pasar bebas Asia telah di depan mata. Hal itu ditandai dengan dimulainya AFTA (Asean Free Trade Area)
yang dibentuk pada waktu Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di
Singapura tahun 1992, dengan skema kesepakatan dari negara-negara ASEAN
untuk membentuk kawasan perdagangan bebas dalam rangka meningkatkan
daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN, dengan tujuan untuk
menjadikan kawasan ASEAN sebagai basis produksi dunia.
Kawasan
perdagangan bebas mulai luas diberlakukan. Dengan terlaksananya
perjanjian kawasan perdagangan bebas antara ASEAN dengan China yang
mulai dilaksanakan per 1 Januari tahun 2010. ACTFA (ASEAN – China Free Trade Area)
dalam pelaksanaannya mulai mengkhawatirkan para pengusaha kecil dan
menengah (UKM) di Indonesia. Para pengusaha kecil dan menengah Indonesia
khawatir akan ambruknya Industri domestik akibat serbuan barang-barang
impor produksi China yang menawarkan variatif harga yang lebih rendah.
Perdagangan bebas (Liberalization of Trade) tidak
dapat dihindari dalam suatu negara yang menganut perekonomian terbuka.
Mengingat perdagangan bebas menciptakan sebuah akselerasi dalam
pertumbuhan perekonomian dunia. Bank Dunia (World Bank) merilis laporan bahwa Eliminasi total terhadap hambatan dalam perdagangan akan mengangkat puluhan juta orang dari kemiskinan.
Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, liberalisasi perdagangan dapat menjadi Powerfull Tool
bagi pengurangan kemiskinan masyarakat. Karena dengan dihilangkannya
hambatan perdagangan, akan membuat persaingan harga-harga barang yang
sejenis (termasuk barang-barang import yang harganya murah) akan lebih
kompetitif. Sehingga Purchasing Power masyarakat semakin meningkat.
Disinilah peran
strategi penjualan dan pemasaran dari para pengusaha kecil dan menengah,
dituntut untuk bisa menciptakan inovasi-inovasi, dan mengefisiensi cost production agar
harga jual produksinya bisa bersaing dengan produk-produk dari
kompetitor lain, terutama kompetitor dari luar negeri (khususnya China).
Strategi tersebut misalnya:
1. Melakukan
efisiensi dalam memproduksi barang, sehingga dapat menghasilkan harga
jual produk yang kompetitif dengan produk import.
2. Mencari
alternatif bahan baku yang lebih murah (dengan tidak mengurangi
kualitas), agar biaya produksi bisa ditekan,
sehingga mendapatkan harga jual produk yang lebih murah.
3. Menciptakan produk yang lebih baik secara kualitas dibanding produk yang lain, dengan harga yang sama.
4. Strategi pemasaran yang lebih agresif dan berkesinambungan, dengan pola distribusi yang teratur dan efisien.
5. Memberikan jaminan kualitas (garansi) terhadap produknya (untuk produk-produk tertentu).
6. Menawarkan layanan purna jual yang lebih baik dibanding barang-barang import (untuk produk-produk tertentu).
Bila hal ini
dapat dipenuhi, bukan tidak mungkin pengusaha-pengusaha kecil dan
menengah Indonesia dalam memasarkan sebuah produk, bukan hanya dapat
bersaing di level domestik, namun juga dapat merambah pangsa pasar
mancanegara. Bukankah ini saatnya para pengusaha kecil dan menengah
menggeliatkan “cengkramannya” dengan ikut meramaikan percaturan ekonomi kawasan perdagangan bebas Asia ?, mengingat tarif bea masuk barang import yang “cuma” 0 – 5%.
Permasalahan
utama yang juga harus mendapat perhatian dan penanganan serius
pemerintah adalah pengembangan dan penguatan kelembagaan petani yang
merupakan ujung tombak dari sektor pertanian dan perkebunan. Menurut
pengamatan saya, selama ini posisi dan bargaining petani dan
kelembagaanya sangat lemah dibandingkan dengan Negara Negara lain
seperti Thailand, Philipin dan Vetanam dan lain lain. Jika kelembagaan
petani lemah, maka akan berpengaruh pada sistem produksi dan juga
penetrasi kepasar terutama dalam persaingan harga produk, khususnya
produk pangan.
Strategi Pemberdayaan Kelembagaan Petani
Di Pasar
Internasional, globalisasi ekonomi berimplikasi kepada semakin ketatnya
persaingan antarpelaku bisnis, antarnegara dan antarmanusia yang tidak
hanya pada level keunggulan komparatif tetapi juga pada level politik
dan diplomasi yang kesemuanya itu merupakan komponen daya saing global
(Arifin, 2000). Barang (dan jasa) dapat secara bebas keluar dan masuk
tanpa memperoleh hambatan yang berarti, baik berupa hambatan tarif dan
kuota maupun hambatan non-tarif yang berupa kebijakan atau aspek
diskriminatif lainnya (Hasyim dan Arifin, 2002). Keputusan Indonesia
untuk meratifikasi dan mengikatkan diri dengan ketentuan dan skema
perdagangan dunia (WTO) telah membawa konsekuensi tantangan persaingan
dunia yang semakin keras.
Konsep
perdagangan adil ( fair trade) adalah kondisi ideal yang mungkin tidak
begitu saja dapat tercipta dari konsep pedagangan bebas, namun
memerlukan upaya non-ekonomi lain, berupa langkah pembenahan institusi
di tingkat domestik (termasuk yang utama dan terpenting adalah
pemberdayaan kelembagaan ekonomi petani) dan upaya diplomasi di tingkat
internasional.
Petani
jika berusahatani secara individu akan terus berada di pihak yang lemah
karena petani secara individu akan mengelola usaha tani dengan luas
garapan kecil dan terpencar serta kepemilikan modal yang rendah.
Sehingga, pemerintah perlu memperhatikan penguatan kelembagaan lewat
kelompoktani karena dengan berkelompok maka petani tersebut akan lebih
kuat, baik dari segi kelembagaannya maupun permodalannya. Kelembagaan
petani di desa umumnya tidak berjalan dengan baik ini disebabkan
(Zuraida dan Rizal, 1993; Agustian, dkk, 2003; Syahyuti, 2003; Purwanto,
dkk, 2007) :
(1) Kelompoktani pada umumnya dibentuk berdasarkan kepentingan teknis untuk memudahkan pengkoordinasian
apabila ada kegiatan atau program pemerintah, sehingga lebih bersifat
orientasi program, dan kurang menjamin kemandirian kelompok dan
keberlanjutan kelompok,
(2)
Partisipasi dan kekompakan anggota kelompok dalam kegiatan kelompok
masih relatif rendah, ini tercermin dari tingkat kehadiran anggota dalam
pertemuan kelompok rendah (hanya mencapai 50%),
(3) Pengelolaan
kegiatan produktif anggota kelompok bersifat individu. Kelompok sebagai
forum kegiatan bersama belum mampu menjadi wadah pemersatu kegiatan
anggota dan pengikat kebutuhan anggota secara bersama, sehingga kegiatan
produktif individu lebih menonjol. Kegiatan atau usaha produktif
anggota kelompok dihadapkan pada masalah kesulitan permodalan,
ketidakstabilan harga dan jalur pemasaran yang terbatas,
(4)
Pembentukan dan pengembangan kelembagaan tidak menggunakan basis social
capital setempat dengan prinsip kemandirian lokal, yang dicapai melalui
prinsip keotonomian dan pemberdayaan,
(5)
Pembentukan dan pengembangan kelembagaan berdasarkan konsep cetak biru
(blue print approach) yang seragam. Introduksi kelembagaan dari luar
kurang memperhatikan struktur dan jaringan kelembagaan lokal yang telah
ada, serta kekhasan ekonomi, sosial, dan politik yang berjalan
(6)
Pembentukan dan pengembangan kelembagaan berdasarkan pendekatan yang top
down, menyebabkan tidak tumbuhnya partisipasi masyarakat,
(7)
Kelembagaan-kelembagaan yang dibangun terbatas hanya untuk memperkuat
ikatan horizontal, bukan ikatan vertikal. Anggota suatu kelembagaan
terdiri atas orang-orang dengan jenis aktivitas yang sama. Tujuannya
agar terjalin kerjasama yang pada tahap selanjutnya diharapkan daya
tawar mereka meningkat. Untuk ikatan vertikal diserahkan kepada
mekanisme pasar, dimana otoritas pemerintah sulit menjangkaunya,
(8)
Meskipun kelembagaan sudah dibentuk, namun pembinaan yang dijalankan
cenderung individual, yaitu hanya kepada pengurus. Pembinaan kepada
kontaktani memang lebih murah, namun pendekatan ini tidak mengajarkan
bagaimana meningkatkan kinerja kelompok misalnya, karena tidak ada
social learning approach,
(9)Pengembangan
kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural, dan lemah dari
pengembangan aspek kulturalnya. Struktural organisasi dibangun lebih
dahulu, namun tidak diikuti oleh pengembangan aspek kulturalnya. Sikap
berorganisasi belum tumbuh pada diri pengurus dan anggotanya,meskipun Hasyim
dan Zakaria (2002) menyatakan bahwa masyarakat petani merupakan
komponen yang sangat penting mengingat jumlahnya sangat banyak dan
umumnya bergerak dibidang usahatani (on farm).
Tanpa
adanya petani, maka agribisnis tidaklah mungkin berkembang dan tentu
saja produk-produk pertanian juga tidak cukup tersedia bagi kita. Untuk
meningkatkan taraf hidup petani, mereka harus berperan aktif dan tidak
hanya semata-mata menanti uluran tangan pihak lain. Diharapkan
masyarakat petani tersebut dapat berperan:
Pertama,
berusaha dengan penuh kesadaran yang tinggi untuk meningkatkan kualitas
pengetahuan dan ketrampilan agar kualitas hidup lebih baik. Di samping
itu petani harus berusaha memupuk budaya kewirausahaan (entrepreneur)
dan mengedepankan rasionalitas dalam berusahatani
Kedua,
meningkatkan tindakan bersama secara efisien dalam menangkap manfaat
ekonomi dari adanya skala usaha baik dalam proses produksi, pemasaran
maupun dalam memperoleh sarana produksi melalui pemberdayaan kelembagaan
petani, kelompok tani dan koperasi.
Ketiga,
menjalin kemitraan usaha dengan pihak swasta yang saling memperkuat,
saling membutuhkan, dan saling menguntungkan serta mampu menekan biaya
transaksi dan menjamin keberlanjutan usaha. Kemudian agar proses
kemitraan itu berjalan dengan baik, petani harus berusaha konsisten
memenuhi ketentuan-ketentuan dalam bermitra.
Keempat,
bersama pihak swasta menciptakan suasana usaha yang harmonis sehingga
skala usaha optimal pada masing-masing pihak dapat dicapai. Kelima,
meningkatkan penerapan teknologi budidaya dan prosessing secara
berkelanjutan, sehingga dapat memanfaatkan nilai tambah untuk
meningkatkan pendapatan. Keenam, melakukan diversifikasi usaha guna
mengantisipasi adanya gejolak eksternal (pasar luar negeri). Ketujuh,
bersama swasta berupaya menguasai informasi pasar dalam rangka
memperluas jangkauan pasar dan meningkatkan pangsa pasar.
Tentu ini masalah
serius, karena sangat menyentuh dengan dua hal yaitu kesehateraan petani
dan peningkatan devisa Negara. Penanganan yang memadai di sektor
pertanian oleh pemerintah menjadi sangat penting dalam upaya masuk dan
bersaing dalam perdagangan bebas tersebut.
Kita tunggu langkah
langkah pemerintah selanjutnya.Jika tidak dilakukan, maka perdagangan
bebas justru akan merugikan kita bukan menguntungkan.
referensi
http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2013/10/01/pasar-bebas-dan-nasip-indonesia-594629.html